Asal Muasal Bahasa


Ditulis oleh: Irfan Azhari

Dalam rangka untuk menjaga keteraturan hidupnya, manusia cenderung untuk membangun relasi dengan manusia yang lain. Adapun relasi itu meliputi hal-hal: perniagaan, pendidikan, kesehatan, pernikahan, ekonomi, kenegaraan, dan lain sebagainya. Mula-mula, instrumen paling efektif yang digunakan untuk membangun relasi tersebut adalah berbagai bentuk gestur alami yang dibuat oleh manusia, terutama nalurinya sebagai makhluk hidup pada umumnya. Kasus yang mengilustrasikan klaim tersebut serupa dengan apa yang secara umum ditemukan di kebun binatang; manusia terbiasa untuk melayangkan gesturnya pada hewan-hewan, untuk menyampaikan pesan bahwa makanan sudah siap di dalam tangannya. Kasus yang serupa juga dapat dijumpai di antara manusia; para pelancong yang tidak berbahasa sebagaimana penduduk asli, akan berusaha membuat gestur/bahasa tubuh universal yang mudah dipahami (Tomasello 2008). Namun aplikasi bahasa tubuh dirasa merepotkan dan tidak bisa menciptakan komunikasi yang fleksibel, sehingga instrumen tersebut berkembang secara signifikan. Dengan itu terbangunlah jembatan komunikasi yang lebih efektif antara manusia. Lantas bagaimanakah manusia berevolusi dari penggunaan bahasa tubuh menuju bahasa yang kita kenal dewasa ini?

Pembahasan berat mengenai asal muasal bahasa memang telah secara alot didiskusikan oleh para ahli. Sebagian mengatakan bahwa asal muasal bahasa dimulai dari bahtera Nuh. Sebagian lagi mengklaim bahwa Munculnya perdebatan itu tidak terlepas dari dua hal. Pertama, dogma agama terhadap bahasa yang menurun. Pada suatu waktu, ahli-ahli agama seringkali tidak menginginkan adanya kontradiksi antara apa yang Tuhan firmankan di kitab suci, bahwa Dia menciptakan segala sesuatu di muka bumi, termasuk bahasa. Pada agama abrahamisme misalnya; dikatakan bahwa Tuhan menciptakan Adam dengan segala makhluk lainnya di bumi, kemudian Tuhan mengajarinya nama dari setiap makhluk tersebut. Kedua, perkembangan studi bahasa manusia dengan hewan yang meningkat secara signifikan. Para ahli memang telah berspekulasi bahwa terdapat perbandingan yang relevan antara manusia dengan hewan, dengan berasas bahwa manusia memang berordo sama dengan hewan secara biologis.

Salah satu teori terkenal dari pembahasan ini bertajuk “The Amoeba Question”. Dalam teori itu, bahasa diumpamakan amoeba yang bisa melebar dan berkembang sedemikian sporadis. Pada abad ke-19, dalam sudut pandang teori ini, manusia terbiasa menirukan jeritan atau teriakan dari hewan-hewan buas yang diburu (Aitchison 1996). Sehingga dengan itu, pada tingkatan yang sangat sederhana, manusia bisa berkomunikasi. Lambat laun, kemudian jeritan itu dikonversikan menjadi kata-kata yang lebih sederhana, efektif, efisien, dan lebih mudah untuk diucapkan. Namun, karena kendala wilayah dan geografis, seringkali konversi tersebut disalahpahami oleh beberapa manusia di daerah-daerah lain. Sebagai hasil dari kesalahpahaman konversi tersebut, ditemukan beberapa kosakata bahasa-bahasa asing yang serupa namun tak sama. Dalam bahasa Indonesia dikatakan “halo”, dalam bahasa Inggris dikatakan “hello”, dalam bahasa Spanyol dikatakan “ola”, dan di dalam bahasa Arab dikatakan “ahlan”. 

Selain itu, perkembangan bahasa tidak hanya meliputi aksara penuh, melainkan juga bertalian pada aksara parsial, yakni aksara yang hanya bisa digunakan untuk perhitungan. Semenjak zaman dahulu, manusia tidak hanya berkomunikasi untuk mengungkapkan pesan-pesan lisan secara literal, namun juga berusaha untuk mengomunikasikan pesan-pesan yang tidak terbilang. Sebagaimana yang dilakukan oleh peradaban Sumeria, mereka mengenalkan aksara parsial, yang hanya bisa menerjemahkan angka-angka secara tertulis. Inisiasi tersebut muncul seiring mencuatnya kesadaran bahwa para pustakawan dan bankir tidak berkemampuan menyimpan angka yang begitu banyak di kepala, sehingga tercetuslah angka tertulis yang mudah diingat. Kemudian angka-angka itu juga semakin berkembang, seiring angka bahasa Arab memengaruhi itu semua. Sampai sekarang, komunikasi angka semakin berkembang dengan adanya bahasa pemrograman komputer dengan angka biner. (Harari 2017)

Kemudian masalah lainnya timbul. Perbedaan bahasa tersebut seringkali menjadi hambatan manusia terbesar untuk mencapai tujuannya. Problem tersebut dikenal dengan istilah “language barrier”. Dalam upaya untuk mereduksi kendala/hambatan tersebut, maka manusia menyepakati terbentuknya satu bahasa universal yang digunakan, supaya manusia bisa mengerti satu sama lain. 

Secara konklusif, munculnya bahasa disebabkan dari adanya halangan atau kendala yang dialami manusia dalam membangun hubungan. Kemudian bentuk bahasa itu semakin berkembang dari masa ke masa. Semestinya penggunaan bahasa menjadi jembatan antara manusia di seluruh belahan dunia. Eksistensi manusia sebagai individu sangat-sangat ditentukan dari bagaimana ia menjaga hubungan interpersonal dengan yang lain. Dengan bahasa, kita bisa melakukan banyak hal, serta tanpanya maka manusia tidak akan bisa menjaga keutuhan dirinya sendiri. 


Aitchison, Jean. The Seeds of Speech. Cambridge University Press, 1996.

Harari, Yuval Noah. Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta:  Kepustakaan Populer Gramedia, 2017.

Tomasello, Michael. Origins of Human Communication. London: Massachusetts Institute of Technology, 2008.


Komentar

Postingan Populer